![]() |
(Foto: BuzzFeed) |
KUNINGAN (OKE)- Suatu hari, rumah
Sayidina Ali bin Abi
Thalib RA. terbakar. Saat itu,
beliau sedang sujud dalam keadaan shalat. Orang-orang berteriak
memperingatinya, “Api,…api,… wahai menantu Rasulullah, ada api!” Tapi beliau
tidak juga mengangkat kepalanya dari sujud.
Saat rampung mendirikan shalat dengan
khusyuk, beliau diberitahu bahwa tadi saat sujud sudah diperingatkan ada
kebakaran. Beliau menjawab, “Api neraka membuatku lupa dengan api kebakaran
tadi.”
Kisah yang diceritakan dalam Risalat
al-Asror itu merupakan satu dari berbagai cerita para salafus shalih
tentang kekhusyukan waktu shalat. S
ulit bagi kebanyakan kaum muslim
mencapai derajat kekhusyukan seperti itu. Bahkan, untuk sekedar khusyuk saat
shalat dalam definisi paling minimal pun sulitnya bukan main.
Padahal, banyak sekali faedah yang di
dapatkan dari shalat dengan khusyuk. Lalu, bagaimana dengan orang yang masih
belum bisa khusyuk saat shalat, apakah berarti ia tidak mendapatkan
faedah shalat? Misalnya mencegah kemungkaran.
Dalam fikih mazhab Syafi’i, khusyuk
saat shalat dihukumi sunah, tapi merupakan sunah terpenting. Karena tanpa
khusyuk, pahala shalat bisa tidak didapatkan.
Khusyuk sendiri didefinisikan Ibnu Hajar
Al-Haitami sebagai kehadiran hati dan tenangnya anggota badan saat shalat.
Sementara dalam I’anat
ath-Thalibin disebutkan, khusyuk bisa didapatkan bagi musholi (orang
yang shalat) dengan cara menghadirkan diri dalam shalat seolah-olah dia sedang
berhadapan dengan Raja dari segala raja yang maha mengetahui segala rahasia,
dan secara intim berbicara pada Raja tersebut.
Dalam menjelaskan keutamaan khusyuk
saat shalat, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menyertakan hadis Nabi berikut. Rasulullah SAW. bersabda :
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ مِنَ الله إلا بعداً
Artinya : Orang yang shalatnya tidak
dapat mencegahnya dari kejahatan dan kemungkaran, maka tidak bertambah apapun
baginya dari Allah, selain (bahwa antara ia dan Allah jaraknya semakin
bertambah) jauh. (HR. Ath-Thabrani, dengan sanad shahih).
Dengan menyertakan hadis ini, secara
tidak langsung Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa salah satu keutamaan atau
faedah dari khusyuk saat shalat adalah shalatnya dapat mencegah dari perbuatan
jahat dan mungkar. Lalu bagaimana dengan orang yang masih belum bisa khusyuk?
Ulama’ bersepakat bahwa shalat dapat
mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Hal ini secara jelas dinash
oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an. Allah SWT. berfirman dalam Surah Al-Ankabut
ayat 45 :
أُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ،
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ، إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَلَذِكْرُ
اللَّهِ أَكْبَرُ، وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
Artinya : Bacalah (wahai Nabi
Muhammad) Kitab (Al-Qur’an)yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.
Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaanya daripada ibadah
yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut (29) :
45).
Dari ayat ini pula, para ulama’ berbeda
pendapat dalam menjelaskan bagaimana bentuk pencegahan shalat dari kedua hal
tersebut.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah shalat dengan khusyuk. Karena dengan
kehadiran hati dan ketenangan badan saat shalat, seorang musholi kemudian akan
sadar untuk menjauhi perbuatan keji dan mungkar, sebagaimana yang disebut dalam
hadits yang dikutip Imam Al-Ghazali di atas.
Imam Ar-Razy dalam tafsirnya Mafatih
al-Ghaib menambahkan, bahwa ilustrasinya orang yang shalat seperti
orang yang khidmah pada Raja dengan loyal, sehingga ia mendapatkan tempat
istimewa di sisi Rajanya.
Kemudian ia melihat sesama hamba Raja
yang mencoba membuatnya meninggalkan sang Raja dengan iming-iming yang tidak
bisa diharapkan. Maka apakah orang yang loyal tersebut bersedia mengkhianati
Raja? Tentu tidak.
Hamba yang loyal itu ibarat orang yang shalat, sedangkan sesama hamba yang merayunya adalah setan, dan pengkhianatan itu seperti melakukan perbuatan keji dan mungkar yang dilarang Allah SWT. Ilustrasi Imam Ar-Razy ini sebangun maknanya dengan pencapaian khusyuk menurut Syaikh Abu Bakar Syatho dalam I’anat ath-Thalibin yang dikutip di atas.
Namun banyak juga ulama’ yang
mengatakan, yang dimaksud shalat dalam QS. Al-Ankabut ayat 45 adalah shalat
secara mutlak, tidak mensyaratkan adanya kekhusyukan. Hal ini bisa dilihat dari
bagaimana Sahabat Ibnu Abbas RA. menafsiri ayat ini dengan mengatakan :
فِي الصَّلَاةِ مُنْتَهًى وَمُزْدَجَرٌ عَنْ
مَعَاصِي اللَّهِ
Artinya : Dalam shalat terkandung
pencegah dari berbagai maksiat kepada Allah.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Imam
Ath-Thabari, shalat membatasi musholi dari perbuatan yang mengarah
pada hal keji, karena dengan melakukan dan menyibukkan diri dengan shalat, maka
dengan begitu terputuslah peluang untuk menyibukkan diri dengan perbuatan
mungkar.
Dalam hal ini, Imam Ar-Razy dalam
menafsiri ayat yang sama, mengilustrasikan seorang musholi memakai
pakaian terbaik setiap shalat yang bisa melindungi hati, yaitu libas
at-taqwa (pakaian ketakwaan).
Pakaian ini lah yang melindungi dari
segala kotoran-kotoran berupa perbuatan keji dan mungkar. Dengan semakin
diulang-ulangnya shalat, maka semakin langgeng pula pelindung tersebut bagi
musholi.
Dari berbagai keterangan di atas bisa
disimpulkan, shalat secara mutlak dapat mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar bagi orang yang melakukanya, dan bagi orang yang belum bisa khusyuk
masih tetap terbuka kemungkinan dapat mencegah dari perbuatan buruk dengan
shalatnya. Meskipun begitu, sudah seyogyanya bagi seorang muslim untuk
meningkatkan kualitas ibadahnya pada Allah SWT.
Sebagaimana pencapaian lain, khusyuk
pun bisa dilakukan dengan proses dan berbagai usaha. Kalau memang masih
belum bisa khusyuk, hendaknya seorang muslim terus mendirikan shalat dan
belajar untuk beribadah dengan khusyuk.
Karena kalau shalat diibaratkan
seperti pakaian ketakwaan yang bisa melindungi perbuatan keji dan mungkar, maka
sungguh beda kualitasnya antara pakaian ketakwaan dari shalat yang khusyuk
dengan yang tidak khusyuk. Dengan begitu, insya Allah tanpa perlu diragukan
lagi, shalat kita akan mencegah kita dari berbuat keji dan mungkar. (dikutip
dari: islami.com/dhn)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Refrensi :
Imam Abu Hamid Muhammad
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, juz 1, (Beirut : Dar al-Ma’rifah).
Syaikh Abu Abdillah Muhammad Fakhr
ad-Din Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib : At-Tafsir Al-Kabir, juz 25,
(Beirut : Dar Ihya’ at-Turats al-Arabiy, 1420 H.).
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari, Tafsir
Ath-Thabari Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, juz. 18, (Muassasah ar-Risalah,
2000 M.).
Syaikh Abu Bakar Syatho, I’anah
ath-Thalibin ‘ala Halli Alfadzi Fath al-Mu’in, juz. 1, (Dar al-Fikr, 1997 M.).
Syaikh Abu al-Abbas Syihabuddin ibnu
Hajar Al-Haitamy, Minhaj al-Qowim Syar Al-Muqoddimah Al-Hadhramiyyah, (Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2000 M.).
Sayid Muhammad bin Alawiy bin Abbas
Al-Maliky, Risalah al-Asror fi ash-Shalat wa az-Zakat wa ash-Shaum wa
al-Hajj, (Dar ath-Thaba’ah Kali Kondang, tanpa tahun).
Posting Komentar untuk "Shalat Tidak Khusyuk, Apakah Masih Bisa Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar?"