![]() |
Gambar: fb padepokan petakwangu kedung pengilong |
KUNINGAN (OKE)- Dalam rangka penyebaran agama
Islam, seorang ulama besar dari Caruban (Cirebon) yang benama Syekh Maulana
Akbar pernah singgah di Buni Haji daerah Luragung kemudian melanjutkan perjalanannya
menuju Kajene yang pada waktu itu penduduknya masih menganut agama Hindu.
Syekh Maulana Akbar mendirikan
pesantren di Sidapurna yang berkembang pesat dan karena pengikutnya bertambah
banyak maka beliau membuat pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi
nama Purwawinangun (artinya: mula-mula dibangun). Syekh Maulana Akbar meninggal
dan dimakamkan di Astana Gede.
Pada tahun 1481 M, Syarif
Hidayatullah yang dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati datang di
Luragung. pada waktu itu Ki Gedeng Luragung sebagai kepala pemerintahan yang
kemudian masuk agama Islam.
Pada waktu yang bersamaan
datanglah putri Ong Tien dari Cina menyusul ke Luragung kemudian
melangsungkan pernikahan dengan Syarif Hidayatullah. putri Ong
Tien berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Sumanding.
Syarif Hidayatullah dan
istrinya Ong Tien pada waktu itu sepakat untuk mengangkat putra Ki Gedeng
Luragung yang masih bayi menjadi putranya yang diberi nama Sang Adipati. Syarif
Hidayatullah bersama Ong Tien dan putra angkatnya kemudian berangkat
menuju Kajene.
Pada saat itu yang menjalankan
pemerintahan Kajene adalah pangeran Aria Kamuning yang menganut agama
Hindu dan kemudian masuk agama Islam. Sang Adipati dipercayakan
kepada pangeran Aria Kamuning untuk dididik dengan baik. selama Sang Adipati belum
dewasa maka pangeran Aria Kamuning ditunjuk oleh Sunan Gunung
Jati sebagai kepala pemerintahan perwalian di Kajene dibawah kerajaan
Cirebon.
Setelah Sang Adipati dewasa,
tepatnya pada tanggal 1 September 1498 M, Sang Adipati dinobatkan
menjadi kepala pemerintahan Kajene yang bergelar Sang
Adipati Kuningan.
Dengan berdirinya negara /
kerajaan Kuningan di bawah Sang Adipati Kuningan, maka sejak tanggal
penobatannya daerah yang semula bernama Kajene di kembalikan lagi ke nama
aslinya yaitu ‘’Kuningan”. dan sejak saat itulah tanggal 1 September ditetapkan
sebagai hari jadi Kuningan.
Selain dibantu oleh Aria
Kamuning dalam mengatur jalannya pemerintahan, Sang Adipati Kuningan
juga dibantu oleh Dipati Ewangga atau disebut Dipati Cangkuang dan Rama
Jaksa. Dipati Ewangga memiliki kuda tunggangan yang diberi nama Si Windu.
Untuk lebih meresapkan agama
Islam di kalangan penduduk Kuningan, Sunan Gunung Jati mengirim Syekh
Rama Haji Irengan dan beliau memilih tempat kediamannya di Darma. dengan
bantuan para wali beliau membuat kolam (balong) yang sekarang dikenal dengan
nama Balong Kancra atau Balong Kramat atau Darma Loka.
Sang Adipati Kuningan
bersama pasukan Kuningan dibawah pemerintahan Cirebon telah turut serta
bertempur untuk menundukan Galuh dan membantu mendirikan pemerintahan Wiralodra
di Indramayu dibawah pimpinan Fatahillah Cirebon.
Pasukan Kuningan juga ikut
menggempur Sunda Kelapa dan turut serta mendirikan pemerintahan Jayakarta
sehingga pasukan dari Kuningan ada yang menetap di Jayakarta dan sekarang nama
Kuningan terukir menjadi nama salah satu kelurahan di wilayah Jakarta Selatan
yaitu kelurahan Kuningan.
Berkat nilai-nilai luhur jiwa
juang para leluhur Kuningan yang diwariskan kepada anak cucunya, pada zaman
Hindia Belanda karena perlawanannya seorang ulama besar dari Lengkong
yaitu Eyang Hasan Maolani oleh Pemerintah Hindia Belanda telah
dibuang/diasingkan ke Gorontalo Sulawesi Utara dan meninggal di Gorontalo.
Di dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengadakan serangkaian perundingan
dengan Belanda. salah satu perundingan dilakukan di Linggarjati, yang pada saat
itu belum dikuasai Belanda. pemilihan Linggarjati sebagai tempat
perundingan merupakan sesuatu pilihan yang tepat, baik dilihat dari segi
politis maupun dari segi keindahan alamnya. dengan adanya perundingan tersebut
maka nama Linggarjati tidak hanya dikenal di Indonesia, melainkan juga
dikenal di seluruh dunia.
setelah yogyakarta sebagai ibu
kota Republik Indonesia diserang oleh tentara Belanda pada
tanggal 19 Desember 1948, panglima besar Jenderal Soedirman menginstruksikan
untuk membentuk 4(empat) Markas Besar Komando Djawa (MBKD), yang meliputi
MBKD Jawa Timur, MBKD Jawa Tengah, MBKD Jawa Barat Dan
MBKD Luar Jawa. untuk MBKD Jawa Barat dipimpin oleh Letkol r.k.
Sukanda Bratamanggala, yang berkedudukan di desa Subang dan dijadikan basis
gerilya melawan Belanda.
Sesuai dengan keputusan dewan
pertahanan daerah keresidenan Cirebon dan brigade V, maka
Ciwaru dijadikan basis pertahanan dan pusat pemerintahan keresidenan
Cirebon. rakyat Ciwaru dengan ikhlas menyerahkan rumah mereka untuk
dipergunakan sebagai kantor-kantor, staf militer, pemondokan dan lain-lain.
Ciwaru menjadi pusat daerah perjuangan perang kemerdekaan.
Sesudah lewat masa revolusi fisik
dan memasuki tahun lima puluhan terdapat masalah-masalah politik, ekonomi, dan
sosial, termasuk di dalamnya masalah keamanan yaitu gangguan DI/TII di
Kuningan, yang menyebabkan situasi dan kondisi tidak mungkin untuk melaksanakan
pembangunan sebagaimana mestinya. Rakyat Kuningan beserta TNI bahu membahu
untuk memadamkan pemberontakan DI/TII.
Dalam rangka mengisi kemerdekaan,
masyarakat Kabupaten Kuningan dengan semangat juang yang tinggi yang dilandasi
nilai gotong royong selalu berkiprah melaksanakan pembangunan menuju masyarakat
adil, makmur, sejahtera lahir dan batin berdasarkan Pancasila. (sumber: situs pemkabkuningan.com/dhn)
Posting Komentar untuk "Kilas Sejarah Kuningan Part 2, Kisah Putri Ong Tien dan Ki Gedeng Luragung"